Breaking News
UMUM  

Peteri: Nama yang Hidup dalam Kabut Gayo

Peteri Pukes yang menjadi baru. Foto: LG.co

Di Tanoh Gayo, nama adalah doa yang tumbuh bersama embun. Dari sekian banyak nama yang bisa dipilih, ada satu yang berkilau lembut di bibir orang tua: Peteri. Bukan Putri, bukan Puteri, apalagi Fitri.
Huruf “P” itu mengalir dari lidah Gayo dengan ringan, seperti desir angin yang menyusuri Danau Lut Tawar.

Peteri bukan sekadar sebutan untuk anak perempuan, ia adalah cermin dari kecantikan, kemuliaan, dan misteri. Nama itu hidup dalam cerita-cerita tua, yang diceritakan nenek di beranda rumah-rumah, sambil menyalakan api kecil pengusir dingin.

Ada kisah tentang Peteri Pukes, yang tubuhnya membatu di tepi danau karena janji yang diingkari. Setiap kali orang menatap batu itu, mereka seakan mendengar tangis seorang ibu yang tak sempat dipeluk kembali.

Ada pula cerita Peteri Ijo, putri berkulit hijau yang misterinya masih berhembus dalam hutan dan kabut, mengingatkan bahwa kecantikan kadang lahir dari keasingan. Dan di punggung bukit, berdirilah Buntul Peteri, saksi bisu bahwa tanah ini pernah ditinggali putri yang namanya tak lekang oleh waktu.

Orang Gayo selalu percaya, “Anak banan caya ni umah, anak rawan caya ni negeri.
(Anak perempuan adalah cahaya di dalam rumah, anak laki-laki adalah cahaya di negeri.)

Maka, ketika seorang anak perempuan dipanggil Peteri, sesungguhnya ia sedang dipeluk oleh seribu kisah. Nama itu bukan sekadar suara, melainkan warisan—warisan dari tanah yang tinggi, dari kabut yang abadi, dari leluhur yang tak pernah berhenti berbisik dalam legenda.

Peteri adalah nama yang indah, nama yang mengikat masa lalu dan masa depan. Nama yang membuat Gayo selalu punya cerita untuk dituturkan, bahkan ketika malam datang membawa sunyi.