Oleh: Rocka Morta
Semangkuk sup tampak terduduk di dalam kesunyian. Asap masih menguap di atas permukaan sup tersebut kendati tidak terlalu kentara. Ada potongan wortel yang dibentuk sedemikian rupa seperti kelopak bunga. Hanya dua potong saja, tidak lebih. Selain itu, ada taburan daun seledri yang dipotong kecil-kecil di sana, namun tidak ada yang tergoda oleh aromanya yang khas.
Sup itu masih belum disentuh sama sekali. Di samping mangkuk sup terdapat sebuah gelas berisi teh hangat yang juga dibiarkan terduduk. Keheningan di ruang tengah itu pun semakin kuat dengan keberadaan sebuah vas tua yang ditaruh di tengah meja di mana sup dan teh hangat itu berada. Sebuah mini vas bercorak floral kebiruan dari tahun 70an, yang memiliki beberapa retakan memanjang serta serta bunga mawar sintetis yang tampak lusuh dan memudar.
Tidak jauh dari meja tersebut, seorang lelaki tampak mematung, menghadap ke jendela, mengarahkan matanya lurus ke depan dan menerawang ke tempat yang tidak satu pun orang tahu. Ia adalah lelaki tua, dengan baju hangat keabu-abuan, dan wajah yang memiliki banyak cerita. Matanya terlihat sayu dan rapuh. Pandangannya menembus jendela, menuju ke masa lalu, menembus hujan salju yang menurunkan bunga-bunga es.
Ia mematung di sana hampir setengah jam lamanya, di dalam suasana yang remang-remang. Lelaki tua itu jauh dari perapian. Ia lebih memilih berdiri di sana, melihat bunga-bunga es yang diturunkan oleh salju itu jatuh perlahan, menumpuk di halaman dan pagar rumahnya. Di samping rumahnya terparkir mobil sedan tua miliknya yang sudah tidak bisa dibawa berkendara. Ia sudah terduduk di sana sekitar empat tahun. Menjadi rongsokan dan kini juga dihinggapi oleh tumpukan salju.
Di antara meja dan laki-laki tua tersebut, tepat di sudut ruang tengah, pada tiang di mana sebuah fedora hitam disangkut, menggantung sebuah blazer perempuan warna kuning tua. Sepertinya blazer itu sudah digantung di sana sangat lama. Seandainya mundur sekitar dua langkah dari blazer itu digantung, saat mendongak ke atas akan tampak sebuah foto berukuran bingkai A2.
Di dalam bingkai tersebut tampak sepasang kekasih—suami istri—berdiri dengan pose saling menggenggam tangan serta melihat ke kamera dengan senyum yang ikhlas. Mereka dibalut baju pengantin. Sepertinya mereka baru saja menikah: yang laki-laki mengenakan tuxedo hitam sementara yang perempuan mengenakan Ball Grown, dengan rok yang mekar. Keduanya membelakangi latar berwarna merah marun.
“…riiiing,” sesaat kemudian telepon berdering, membuyarkan lamunan lelaki tua tersebut.
Awalnya lelaki tua itu berusaha untuk tidak ambil peduli sampai telepon yang ada di dinding lorong menuju kamar utama rumah itu kembali berdering dan terdengar memaksa. Dengan langkah yang terlihat agak malas, lelaki tua itu pun menuju ke tempat di mana telepon tersebut berada.
“Halo…,” ucap si lelaki tua dengan nada kalimat bertanya.
“…Fritz?”
“…kaukah itu, Fritz?”
“…oh Tuhan!”
“…aku senang mendengar ternyata kau masih hidup.”
Suara seorang lelaki di seberang telepon terdengar bertubi-tubi dan tanpa jeda.
“…hei, ini aku Burk.”
“…kau ingat aku?”
Lelaki tua itu masih berusaha menerka-nerka siapakah gerangan orang bernama Burk. Umurnya telah memakan sebagian dari ingatannya. Ia masih berusaha mengingat sampai keningnya berkerut di dalam gelapnya lorong dari ruangan itu.
“…Burk si cepat,” lanjut suara dari balik telepon.
“…ingat?”
“…perang di bukit Ave Mantiaz?”
“…Burk???” kini lelaki tua itu tampak semringah di dalam gelap.
“…ya, betul. Memangnya siapa lagi?”
“…kaukah itu?”
“…betul sekali, temanku Fritz. Ini aku.”
“Hei, kau masih tinggal di alamatmu yang dulu, Fritz?” tanya lelaki di seberang telepon. Jika didengar dengan saksama, sepertinya umur kedua orang ini tidak terpaut jauh.
“…iya, tentu saja,” jawab Fritz.
“…di Dertkall City?”
“…ya, Dertkall City. Satu-satunya kota dan kampung halamanku tercinta,” Fritz mencoba bercanda.
Burk terdengar tertawa dan kemudian terbatuk sedikit. Ia sepertinya sedang mengelus dadanya sendiri di seberang telepon dan mengambil waktu menghela napas panjang.
“…kita ini mesin tua, Fritz. Harap maklum,” kini giliran Burk yang mencoba bercanda. Ia sepertinya telah berdamai dengan umur. Juga segala konsekuensi yang diberikan oleh umur dan masa mudanya yang penuh foya-foya.
“…kau tahu, aku kebetulan sedang berada di kotamu, Fritz. Di Dertkall City,” kata Burk.
“…oh iya? Benarkah?” Fritz penasaran.
“…hal terkutuk apa lagi yang kau lakukan Burk? Kau saat ini berada ribuan kilometer jauhnya dari rumahmu,” kata Fritz.
Burk lagi-lagi tertawa.
“Kau tahu, aku akan singgah ke rumahmu, Fritz,” kata Burk.
“Apakah istrimu akan keberatan jika aku membawa sebotol penghangat tubuh ke rumahmu,” tanya Burk. Ia terdengar bersemangat.
Fritz terdiam sesaat.
Burk juga. Burk menunggu.
“…Istriku sudah tiada, Burk. Lima tahun yang lalu,” Fritz terdengar dingin.
Burk merasa bersalah. Ia meminta maaf.
“…hei, itu tidak masalah. Jangan merasa tidak enak. Aku juga sudah lama melewati masa berkabung,” Fritz merasa telah membuat suasana menjadi kikuk.
“…kau tahu, aku baru saja memasak sup yang lezat dan gurih. Cocok untuk suasana bersalju seperti ini,” Fritz ingin membuat suasana kembali ceria.
“…oh iya? Dengan senang hati, Fritz,” Burk menyambut tawatan temannya.
“Hei, Burk…,” ujar Fritz sebelum menutup telepon.
“Apa…?”
“…jangan lupa bawa sebotol penghangat tubuh seperti yang kau janjikan tadi,” kata Fritz.
“…oh, ha-ha-ha. Pasti. Siapkan meja terbaikmu, Fritz,” Burk dan Fritz pun saling menutup telepon.
Sesaat kemudian, suasana kembali hening. Sup dan teh hangat di atas meja Fritz sudah dingin. Sementara itu, di luar sana salju semakin kuat. Burk mana mungkin bisa datang dalam kondisi seperti itu. Badai salju menerpa kota tersebut selama hampir dua pekan kemudian.