Breaking News

Rp700 Juta untuk “Meneliti” Drainase: Penelitian atau Akal-Akalan?

Ilustrasi sampul buku penataan drainase perkotaan

Di masa Bupati Shabela Abubakar, pernah dianggarkan Rp700 juta uang rakyat untuk penelitian penataan drainase di Takengon. Katanya, untuk mencegah banjir. Katanya, demi kenyamanan warga dan keindahan kota. Katanya.

Nyatanya? Hujan deras semalam saja sudah cukup untuk mengubah beberapa ruas jalan menjadi sungai. Air mengalir seenaknya di tengah kota, dan warga kembali harus mengangkat ujung celana sambil melangkah di genangan.

Pertanyaannya: penelitian macam apa yang hasilnya tidak terlihat sama sekali di lapangan? Apakah banjir yang masih datang ini bagian dari “kesimpulan penelitian” yang dianggarkan ratusan juta itu? Jika iya, sungguh luar biasa: hanya di sini, banjir bisa dibuktikan lewat teori, tanpa solusi.

Publik belum pernah melihat dokumen penelitian itu. Tidak ada paparan terbuka, tidak ada uji publik. Semua serba sunyi, seolah Rp700 juta itu hanyalah angka yang lewat begitu saja di APBK, lalu masuk ke ruang gelap birokrasi.

Dan di Aceh Tengah, kita semua tahu: ruang gelap itu seringkali tidak berujung pada pembangunan, tapi pada pembenaran.

Jangan salah, penelitian memang penting. Tapi penelitian tanpa tindak lanjut hanyalah proyek kertas. Dan proyek kertas di pemerintahan sering berarti satu hal: memindahkan uang rakyat dari kas daerah ke kantong segelintir orang, dengan alasan yang terdengar ilmiah.

Jika pemerintah daerah di era Shabela betul-betul serius, maka publik harus bisa melihat: di mana laporan itu sekarang? Siapa yang mengerjakannya? Apa rekomendasinya? Dan yang terpenting—kenapa Takengon tetap banjir?

Sampai semua itu terjawab, Rp700 juta itu bukan sekadar biaya penelitian. Ia adalah simbol bagaimana birokrasi bisa berbicara manis soal pembangunan, sambil membiarkan warga tetap basah kuyup di tengah kota.