Kejanggalan demi kejanggalan dalam pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kembali mengemuka. Kali ini, sorotan publik mengarah ke SMP Negeri 32 Takengon, yang berlokasi di Kekuyang, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2025 yang diselesaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 3 Mei 2025, ditemukan ketidaksesuaian penggunaan Dana BOS sebesar Rp127 juta.
Yang lebih menyakitkan: di balik angka itu, terdapat potret getir para siswa-siswi yang terpaksa mengikuti proses belajar sambil duduk di lantai karena kekurangan meja dan kursi. Dana pendidikan yang semestinya menjadi bahan bakar utama peningkatan mutu, justru tergerus oleh kelalaian, kemungkinan penyalahgunaan, atau setidaknya manajemen yang buruk.
Temuan ini, walaupun terjadi saat kepala sekolah lama masih menjabat (sebelum diganti pada 11 Juli 2025), bukan hanya mencoreng nama institusi pendidikan, tetapi juga menampar nurani publik. Ini bukan sekadar soal akuntabilitas keuangan. Ini tentang nasib anak-anak bangsa yang hak pendidikannya dilanggar secara diam-diam di balik meja birokrasi.
Dalam sistem yang sehat, setiap rupiah Dana BOS adalah simbol kepercayaan negara terhadap sekolah untuk menjalankan tugas suci: mendidik. Maka, ketika ratusan juta rupiah Dana BOS menguap tanpa kejelasan, lalu murid-murid belajar di lantai tanpa fasilitas yang layak, jelas ada pengkhianatan terhadap amanah publik.
Editorial ini bukan sekadar mengutuk, tetapi menyerukan tindakan nyata. Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Dinas Pendidikan harus menjawab temuan BPK dengan transparansi. Jangan berlindung di balik prosedur administratif semata. Kepala sekolah yang lama harus dimintai pertanggungjawaban. Audit lanjutan dan penyelidikan internal harus dilakukan tanpa pandang bulu.
Lebih dari itu, ini momentum bagi semua pemangku kebijakan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola Dana BOS di semua sekolah. Jika satu SMP saja bisa “kecolongan” ratusan juta, siapa yang bisa menjamin sekolah lain tidak mengalami hal serupa?
Kita tidak bisa lagi menutup mata. Tidak ada artinya bicara “merdeka belajar” atau “pendidikan berkualitas” jika anak-anak kita masih harus belajar di lantai karena ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Sudah waktunya dana pendidikan diperlakukan sebagai darah kehidupan peradaban, bukan ladang bancakan. Kita berutang pada anak-anak itu – yang tetap belajar dalam keterbatasan, sementara sebagian orang dewasa asyik bermain angka.
Mereka tak bersuara, tapi lantai tempat mereka duduk adalah jeritan keras akan kegagalan kita bersama.
Respon (13)
Komentar ditutup.