Breaking News

Sri Tabahhati Harus Tabah dan Sebaiknya Mengundurkan Diri

Di tengah kabut tebal yang menyelimuti RSUD Muyang Kute, satu nama kini berdiri di tengah pusaran puting beliung dan dinginnya kuyu depik: dr. Sri Tabahhati. Direktur rumah sakit yang dulu dijunjung sebagai simbol harapan dan reformasi kesehatan di Bener Meriah, kini harus menelan kenyataan pahit — namanya dicatut dalam surat resmi DPRK, sebelumnya diserbu desakan mahasiswa GMNI, dan dibayangi laporan dugaan fraud yang sudah mendarat di meja Kejaksaan Negeri.

Sri Tabahhati memang harus tabah. Tapi mungkin sudah waktunya juga untuk berjiwa besar: mengundurkan diri.

Bukan karena tekanan politik.
Bukan karena suara mahasiswa semata.
Dan bukan pula karena ia sudah pasti bersalah.
Tapi karena saat seorang pemimpin kehilangan legitimasi publik dan kepercayaan politik, maka ia tinggal menunggu waktu untuk dijadikan tumbal atau batu loncatan oleh kepentingan yang lebih besar.

Surat DPRK Bener Meriah bernomor 800/172/DPRK/2025 yang merekomendasikan pemberhentiannya bukan sekadar arsip birokrasi — itu adalah sinyal politik yang sangat jelas: keberadaan dr. Sri tak lagi mendapat dukungan. Bahkan lebih jauh, mahasiswa GMNI pun turun ke jalan, bukan hanya untuk menyoal kualitas layanan medis, tapi untuk menuntut perubahan kepemimpinan.

Dan yang paling menghantam: laporan dugaan fraud BPJS Kesehatan dengan nominal ratusan juta rupiah yang kini ditangani Kejari Bener Meriah. Meski belum ada pembuktian di pengadilan, proses hukum itu cukup menjadi bara yang bisa sewaktu-waktu menyulut api krisis kepercayaan.

Lalu untuk apa bertahan?
Apakah karena jabatan?
Apakah demi martabat pribadi?
Atau karena merasa difitnah?

Kita percaya, Sri Tabahhati bukan orang sembarangan, dia adalah satu-satunya dokter anestesi di Bener Meriah,. Tapi justru karena itu, ia seharusnya mampu membaca situasi dengan bijak. Mengundurkan diri bukan tanda kelemahan, justru itu bentuk kematangan dan tanggung jawab moral kepada institusi, pasien, dan masyarakat.

Di dunia medis, kita mengenal istilah “do no harm” — jangan sampai kehadiran kita justru menambah luka. Dalam konteks kepemimpinan, prinsip ini juga berlaku. Ketika situasi sudah begitu keruh dan kepercayaan telah retak, langkah mundur bisa menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari martabat dan kehormatan seorang pemimpin.

Sri Tabahhati harus tabah — dan harus tahu kapan berhenti.
Agar rumah sakit tak menjadi ladang pertikaian politis.
Agar pelayanan publik tetap berjalan tanpa bayang-bayang kegaduhan.
Agar hukum bisa bekerja tanpa tekanan.
Dan agar sejarah mencatat bahwa ia memilih elegansi ketimbang ambisi.

Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Jika bukan dengan kesadaran diri, maka tunggulah: sistem ini akan menggiling siapa pun yang bertahan terlalu lama di kursi yang sudah goyah.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca