Breaking News

Cahaya Didong di Panggung Museum

Suara Leluhur Menggema di Jantung Ibu Kota

Puisi esai: LK Ara

Di antara arca-arca kuno yang diam,
suara didong Gayo kembali mengalun—
bukan hanya sebagai hiburan,
tetapi sebagai isyarat dari sejarah dan akar yang masih hidup.

Para maestro dari dataran tinggi Gayo tampil di Museum Nasional, Jakarta,
membawa serta irama kampung, pantun adat, dan doa-doa yang bersyair.
Mereka tak hanya menampilkan seni,
tetapi memperdengarkan suara yang nyaris dilupakan:
suara kampung, suara kritik, suara cinta, dan suara bangsa.

Malam turun pelan-pelan
di panggung Museum Nasional yang tua,
cahaya menyobek gelap seperti petir tanpa suara—
dan di sanalah mereka, duduk bersila
menghadap suara sendiri
yang telah diwarisi dari kakek-kakek kampung tinggi.

Mereka berdidong.
Bukan sekadar berpantun atau bersyair,
tetapi memanggil kembali akar
yang tertimbun debu dan suara-suara sumbang dari kota.
Topi kerawang di kepala,
selendang di bahu,
gendang di antara mereka
seperti jantung nenek moyang
yang berdetak kembali di tubuh anak cucu.

Mereka mentas di ruang terbuka,
dikelilingi arca kuno berbagai bentuk—
arca tanpa mulut tapi menjadi saksi
dari berbagai zaman dan jejak yang tak terucap,
seperti hendak berkata:
“Suaramu masih bergema di batu-batu kami.”

Mereka ditonton dengan penuh takzim:
oleh para budayawan dan peneliti yang menahan napas,
oleh pejabat negeri yang sesekali manggut,
dan oleh penonton biasa yang baru pertama kali
mendengar suara kampung berdenting di tengah ibu kota.

Di barisan itu ada yang rambutnya mulai perak,
ada pula anak muda yang baru tahu
bahwa didong bukan hanya seni hiburan,
tetapi kitab terbuka dari peradaban yang sempat terabaikan.
Cahaya menyorot punggung mereka,
tapi bayang-bayang mereka memanjang
hingga ke dataran tinggi Gayo,
ke rumah-rumah kopi,
ke ladang-ladang yang dulu sunyi tapi penuh makna.

Kata demi kata bergulir
menggigit politik,
menyindir moral pejabat yang gemar retorik,
dan menyelip harap pada generasi berikut:
“Bangkitlah bukan sebagai penonton,
tapi pewaris suara-suara lampau
yang kini bersandar di pundakmu.”

Penonton diam,
beberapa tergetar.
Bukan karena nostalgia,
tapi karena tersadar:
kita telah terlalu lama lupa pada suara sendiri.

Dan ketika gendang berhenti berdetak,
dan syair terakhir pulang ke langit Jakarta,
para budayawan berdiri memberi hormat—
Wakil Menteri Kebudayaan melangkah ke depan,
mewakili negeri menyampaikan karangan bunga
kepada para maestro yang telah menyalakan
nyala warisan di tengah panggung zaman.

📍 Jakarta, 12 Juli 2025

📌 Catatan Kaki:
1. Didong Gayo adalah seni tutur dan gerak khas masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Ia menggabungkan syair, ritme tepuk tangan, dan kritik sosial dalam bentuk pementasan kolektif yang sarat makna.
2. Penampilan ini berlangsung di halaman terbuka Museum Nasional, Jakarta, dalam rangka acara Panggung Maestro 2025. Para maestro didong tampil di antara arca-arca kuno yang menyimpan jejak berbagai kebudayaan Nusantara.
3. Para penampil antara lain: Ceh M. Din, Ceh Mahlil, Ceh Sukri Gobal, serta generasi muda yang merupakan murid langsung dari Tanoh Gayo. Mereka membawa suara kampung dengan martabat dan keyakinan.
4. Pertunjukan ditonton oleh budayawan, seniman, pejabat, dan masyarakat umum. Sebagai bentuk penghormatan, Wakil Menteri Kebudayaan menyerahkan karangan bunga kepada para maestro usai pentas.
5. Dalam suasana kota besar, pertunjukan ini menjadi pengingat dan penghubung antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan arus global, antara suara kampung dan gema kebangsaan.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca