Breaking News
UMUM  

Kekek: Burung Pembawa Kabar Kematian di Gayo

Burung Gagak Hitam. Foto: Net

Di tengah sunyi malam dataran tinggi Gayo, ketika kabut menggantung rendah di atas danau dan dedaunan basah oleh embun dini hari, terdengar suara lirih dari kejauhan “kek… kek… kek…” mengalun pelan, namun menusuk. Bukan sekadar suara burung biasa. Bagi sebagian orang, suara itu bisa diabaikan. Tapi bagi mereka yang telah merasakannya berulang kali, suara itu adalah pertanda, sebuah firasat yang menggantung seperti bayangan di ambang kehidupan dan kematian. Suara itu berasal dari burung yang oleh masyarakat Gayo disebut Kekek —burung pemberi kabar kematian.

Tidak semua orang mendengarnya. Dan bahkan ketika terdengar, tidak semua merasa terganggu. Tapi saya tahu, dan saya percaya: semakin dekat hubungan saya dengan orang yang akan meninggal, semakin jelas, nyaring, dan lama burung ini berbunyi di dekat atau sekitaran rumah. Ia tidak hanya memanggil, tetapi seakan meratap. Terkadang suaranya singkat, hanya satu atau dua kali *“kek”* seperti sentakan pelan di tengah malam. Namun di lain waktu, suaranya panjang dan dalam, seperti membawa beban kesedihan yang berat. Seakan alam ingin memberi tahu, bahwa seseorang yang dekat akan pergi, bahwa pintu antara dunia ini dan dunia yang lain akan terbuka.

Saya tidak pernah tahu jenis burung ini. Tidak ada yang benar-benar tahu. Ia tidak mudah terlihat. Tidak pernah tertangkap mata pada siang hari. Tidak ada foto, tidak ada nama ilmiah yang pasti. Tapi suaranya… suaranya seperti terpatri dalam ingatan. Kadang muncul di sela mimpi, kadang membangunkan saya dari tidur. Lalu esok atau lusa, kabar duka datang—dan nama yang disebut adalah seseorang yang saya kenal, atau lebih menyakitkan lagi, yang saya cintai.

Fenomena ini bukan hanya milik Gayo. Dalam berbagai budaya di dunia, burung sering dipercaya sebagai pembawa kabar dari alam gaib. Di Irlandia, dikenal Banshee, makhluk roh yang kerap terdengar menangis menjelang kematian anggota keluarga bangsawan. Di Jawa, ada burung gagak hitam yang diyakini datang ke atap rumah sebagai pertanda maut. Dalam budaya Dayak, burung  Kumang dipercaya sebagai perantara antara dunia roh dan manusia. Di Jepang, burung yamabiko kadang dikaitkan dengan pertanda perubahan nasib, termasuk kematian.

Namun yang membedakan Kekek di Gayo adalah kedekatan emosionalnya. Seolah-olah burung ini tidak hanya memberi kabar secara umum, tetapi memilih kepada siapa ia bersuara. Bukan seperti alarm yang membangunkan seluruh desa, melainkan seperti bisikan rahasia, disampaikan hanya kepada mereka yang perlu tahu. Kepada mereka yang hatinya sudah siap, atau justru belum siap.

Barangkali Kekek bukan sekadar burung. Mungkin ia adalah penjaga antara dua dunia. Atau mungkin ia adalah gema dari kesedihan alam itu sendiri, mengantar kepergian seseorang dengan cara yang lembut namun menggetarkan. Entah dari mana ia datang, dan kemana ia pergi setelah tugasnya selesai—yang jelas, ia selalu tahu lebih dulu.

Dan malam-malam ketika suara itu terdengar, saya hanya bisa diam.  Mendengarkan. Merasakan. Dan menanti, siapa yang akan dipanggil dan mengucap Innalillahi wainna Raji’un.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca