TAKENGON, KenNews.is – Ada yang mengejutkan, dibalik pujian Reza Rahadian, seorang artis Indonesia yang sedang membuat film di Takengon, Aceh Tengah. Dia memuji keindahan danau laut tawar, dan sebelumnya dia tidak pernah tahu, ada danau seindah itu di Indonesia yang menyamai keindahan di Eropa.
“Jujur ini indah betul, viewnya langsung ke danau, tidak mesti ke Eropa,” kata Reza Rahadian kepada KenNews.id, Jum’at, 05 Juli 2025, sambil tangannya menunjuk ke arah danau laut Tawar.
Reza berada di Takengon bukan dalam rangka liburan untuk menikmati danau, tetapi dalam rangka pembuatan film.
Tapi apa yang menjadi kekaguman Reza itu sungguh mengguncang kesadaran kita semua—dengan wajah terpukau, si pesohor menyebut Danau Laut Tawar sebagai “surga tersembunyi”, “destinasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya”, dan “ajaib”.
Dan, bukan hanya Reza yang bicara begitu, ada Sha Ine Febriyanti, Asmara Abigail dan pesohor lainnya yang pernah ke Takengon, khususnya danau laut tawar.
Ajaib memang. Tapi bukan karena danaunya.
Ajaib karena publik figur nasional bukan hanya seorang bisa “tidak tahu” ada danau seindah itu di tengah Pulau Sumatra. Ajaib karena danau sekitar 70 hektare persegi yang sudah ada sejak zaman purba itu, ternyata tak pernah terdengar gaungnya di telinga orang Jakarta, bahkan oleh mereka yang kerap wara-wiri membicarakan keindahan alam Indonesia.
Yang lebih ajaib lagi? Apakah Pemerintah Aceh Tengah tidak tersinggung.
Tidak terlihat ada rasa malu, tidak ada klarifikasi, tidak ada evaluasi. Bahkan akun resmi pemerintah daerah nyaris tidak merespons momen ini sebagai momentum introspeksi atau promosi balik. Mereka diam, seperti biasa. Seolah-olah viralnya Danau Laut Tawar adalah kejadian alam semata, bukan hasil kerja keras siapa-siapa.
Padahal jika kita jujur, kekaguman dan ketidaktahuan si pesohor itu adalah tamparan keras bagi Dinas Pariwisata, Dinas Kominfo, Dinas Kebudayaan, hingga seluruh stakeholder pemerintah Aceh Tengah. Karena kalau benar mereka selama ini bekerja—bekerja yang benar, bukan hanya duduk di kantor sambil menyeruput kopi Gayo—mustahil ada orang Indonesia yang tidak tahu Danau Laut Tawar.
Lalu Bupati Nasaruddin, Shabela dan Tamy, sebelumnya juga ngapain?
Ini bukan kesalahan si artis. Ini kegagalan pemerintah.
Gagal mengenalkan. Gagal mempromosikan. Gagal menjadikan kekayaan alam sebagai sumber kebanggaan dan daya tarik ekonomi. Kita tidak sedang bicara tentang danau kecil di hutan perawan yang tertutup kabut. Kita bicara tentang danau besar yang bisa dilihat dari peta satelit dengan mata telanjang, yang menghidupi ribuan petani, nelayan, dan pelaku wisata.
Lalu apa kerja mereka selama ini?
Setiap tahun ada anggaran pariwisata. Ada anggaran pengembangan ekonomi kreatif. Ada program branding. Ada pelatihan. Ada studi banding. Tapi hasilnya? Nol besar dalam promosi skala nasional. Bahkan untuk membuat satu video promosi yang menyentuh, menarik, dan berdampak saja tak pernah terdengar. Padahal hari ini semua orang punya kamera. Semua orang bisa membuat konten.
Sementara daerah-daerah lain berlomba menciptakan citra, Aceh Tengah masih sibuk dengan seremonial. Sibuk mengundang pejabat, menyalami tamu, dan memotret diri di depan yang datang. Mereka tidak sadar bahwa dunia berubah. Wisatawan hari ini tidak melihat baliho, mereka melihat reels. Mereka tidak membaca brosur, mereka menyaksikan testimoni real dari para traveler dan figur publik.
Ironisnya, momentum viral ini justru datang dari “ketidaktahuan”. Dari kebetulan. Bukan karena strategi. Bukan karena kerja. Tapi karena satu pesohor, yang mungkin tersesat, lalu terpesona.
Apa itu tidak cukup membuat kita marah?
Apa lagi yang harus terjadi agar pemerintah Aceh Tengah sadar bahwa mereka sedang tertinggal jauh? Bahwa masyarakat Takengon butuh pemimpin yang punya visi, bukan sekadar pejabat yang bisa tanda tangan? Bahwa Danau Laut Tawar terlalu indah untuk disia-siakan menjadi latar selfie para pejabat lokal, tanpa dampak nyata bagi perekonomian rakyat?
Cukuplah keterpukauan artis ini jadi wake-up call terakhir.
Jika setelah ini pemerintah Aceh Tengah masih tidak bergerak, tidak berubah, tidak merasa bersalah—maka jelas bukan hanya pariwisatanya yang mati, tapi juga nurani kepemimpinannya.
Karena kalau potensi sebesar Danau Laut Tawar saja tidak bisa dimaksimalkan, bagaimana bisa kita percaya mereka akan memajukan sektor lain yang lebih kompleks?
Dan kepada rakyat Aceh Tengah: jangan lagi bangga hanya karena viral. Viralnya Danau Laut Tawar seharusnya menjadi cambuk, bukan euforia. Kecantikan alam adalah anugerah, tapi pengelolaan dan promosi adalah tanggung jawab manusia.
Sekarang waktunya bertanya:
“Siapa yang seharusnya lebih tahu dan mencintai Danau Laut Tawar? Selebriti Jakarta, atau pejabat di Tanah Gayo sendiri”
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.