Kebijakan yang Ambisius namun Menyimpan Potensi Dilema Serius
MAKASSAR, KenNews.id – Rencana pemerintah yang menjadikan Dana Desa sebagai jaminan (intercept) Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) gagal bayar, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI pada Kamis (3/7/2025), menuai sorotan tajam.
Public Policy Network (Polinet), lembaga pengkaji kebijakan publik yang berbasis di Makassar, secara khusus mengeluarkan catatan kritis terhadap skema ini, menyoroti potensi risiko dan implikasi serius terhadap pembangunan desa.
Polinet menyoroti, rencana tersebut merupakan kebijakan yang ambisius namun menyimpan potensi dilema serius.
Meskipun bertujuan mulia untuk menggerakkan ekonomi desa dan memutus rantai pasok yang panjang, skema penjaminan ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai risiko fiskal, akuntabilitas, dan keberlanjutan pembangunan desa.
Pergeseran Fungsi Dana Desa
Polinet menekankan bahwa kebijakan ini berpotensi mengaburkan fungsi utama Dana Desa yang selama ini difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa.
“Dana Desa adalah instrumen vital untuk kemandirian desa. Menggunakannya sebagai penjamin pinjaman koperasi, meskipun tujuannya memajukan ekonomi, secara fundamental menggeser fokus dari investasi publik langsung menjadi mitigasi risiko keuangan,” ujar Najamuddin Arfah, Analis Kebijakan Ekonomi Publik dari Polinet dalam keterangannya, Jumat (04/07/2025).
Najamuddin menjelaskan lebih lanjut, secara fundamental, Dana Desa dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar dan pembangunan fisik serta sosial di desa.
“Ketika dana ini berpotensi ditarik untuk menutupi kewajiban utang koperasi, ini bisa menjadi bom waktu pembangunan,” kata alumni Magister Ekonomi Pembangunan Unhas ini.
Ia memaparkan, jika sebuah koperasi mengalami wanprestasi dan Dana Desa harus di-intercept, program-program pembangunan yang sudah dianggarkan, seperti pembangunan jalan, irigasi, sanitasi, atau program pendidikan, bisa tertunda atau bahkan terhenti.
“Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga masalah kepercayaan publik dan keberlanjutan pembangunan di tingkat akar rumput,” tegasnya.
Risiko Moral Hazard
Dengan target pendirian puluhan ribu koperasi dan potensi plafon pinjaman miliaran rupiah per koperasi, Polinet juga menyoroti tantangan besar dalam hal akuntabilitas dan pengawasan.
“Meskipun Menkeu menekankan peran Kemendes dan Kemenkop dalam pengawasan, realitas di lapangan bisa jadi jauh lebih kompleks. Pertanyaannya, apakah perangkat desa dan pengurus koperasi memiliki kapasitas manajerial dan literasi keuangan yang memadai untuk mengelola dana sebesar itu, apalagi jika ada puluhan ribu koperasi?” papar Najamuddin.
Ia juga mengingatkan kekhawatiran tentang risiko moral hazard. Menurut Polinet, ketika ada jaminan dari Dana Desa, bisa saja muncul sikap kurang hati-hati dalam pengelolaan koperasi.
“Pengurus mungkin merasa ‘aman’ karena ada dana talangan jika terjadi masalah. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Polinet menekankan perlunya sistem pelaporan dan audit yang tidak hanya transparan, tetapi juga real-time dan mampu mendeteksi dinimasalah keuangan sebelum krisis terjadi.
“Pengawasan tidak bisa hanya di atas kertas; harus ada monitoringlapangan yang ketat dan sanksi tegas bagi penyalahgunaan,” tegasnya.
Ancaman Konflik Kepentingan
Najamuddin Arfah juga melihat adanya potensi konflik kepentingan dan tekanan politik di tingkat desa.
“Kepala desa dan perangkatnya mungkin akan menghadapi dilema besar antara memastikan koperasi berjalan baik dan menjaga keberlanjutan proyek pembangunan desa, apalagi jika keputusan bisnis koperasi berpotensi mengorbankan alokasi Dana Desa,” katanya.
Ia juga mengaitkan hal ini dengan ancaman terhadap otonomi desa. Menurut Polinet, Dana Desa adalah simbol kemandirian fiskal desa. Ketika dana ini dijadikan jaminan eksternal, meskipun untuk tujuan koperasi desa sendiri, ini bisa mengurangi ruang gerak dan independensi desa dalam menentukan prioritas pembangunannya.
“Ini juga membuka celah bagi intervensi politik yang bisa mengorbankan prinsip-prinsip ekonomi murni,” jelasnya.
Sebagai alternatif, Polinet menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan mekanisme mitigasi risiko lain yang tidak mengorbankan alokasi Dana Desa.
Beberapa opsi yang diajukan antara lain, Pertama, peningkatan kapasitas manajerial dan literasi keuangan pengurus koperasi secara masif dan berkelanjutan, bukan hanya pelatihan awal.
Kedua, penerapan standar kelayakan kredit yang sangat ketat oleh bank Himbara, bahkan lebih ketat dari biasanya, mengingat risiko yang ditanggung.
Selanjutnya pembentukan dana cadangan khusus untuk koperasi di tingkat pusat atau regional yang didanai secara terpisah, bukan dari Dana Desa.
Selain itu, pengembangan skema asuransi khusus bagi koperasi untuk melindungi dari risiko gagal bayar, dengan premi yang dibayarkan oleh koperasi itu sendiri.
Terakhir, mempertimbangkan mekanisme penjaminan yang multi-level dan tidak hanya bergantung pada satu sumber dana seperti Dana Desa.
“Keberhasilan Kopdes Merah Putih memang krusial untuk meningkatkan ekonomi desa, tetapi bukan dengan mengorbankan stabilitas fiskal dan keberlanjutan pembangunan yang sudah berjalan di desa. Pemerintah perlu meninjau kembali skema jaminan ini dan mencari solusi yang lebih holistik, minim risiko, dan tetap menjaga amanah Dana Desa untuk rakyat desa,” pungkas Najamuddin Arfah.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.