Breaking News

Nasihat Sungai Pesangan di Hari Pendidikan


Puisi Esai LK Ara

Di tepi Sungai Pesangan,
aku duduk bersama desir arus dan doa-doa sunyi dari akar kopi.
Airnya tak pernah lelah mengalir,
dari hulu ke hilir,
seperti ilmu yang seharusnya mengalir—
tanpa membeda ladang atau pemilik ladang.

Hari ini katanya Hari Pendidikan,
tapi para siswa terjebak dalam soal pilihan ganda,
yang jawabannya lebih dihafal daripada dipahami.
Para guru masih dihitung sebagai angka,
bukan digugu dan ditiru.
Sekolah jadi tempat berlomba ijazah,
bukan tempat menumbuhkan cinta pada cahaya.

“Airku dulu lebih jernih,”
kata Sungai Pesangan padaku pelan,
“ketika anak-anak datang ke tebingku
sambil membawa buku dan daun-daun kopi.”
“Ketika Didong bukan sekadar hiburan malam,
tapi madrasah yang menanam makna
di balik syair, rebana, dan diam.”

Aku diam.
Di kampung seberang, sekolah berdiri megah
tapi papan tulisnya tinggal goresan kering.
Internet lambat, buku hanya dua rak,
dan guru honorer dibayar lebih murah dari sebungkus kopi Gayo.
Namun baliho pinggir jalan penuh wajah tersenyum:
“Selamat Hari Pendidikan Nasional,” katanya.

Pesangan mengalir lebih deras.
“Kenapa pendidikan kalian seperti kabut Danau Laut Tawar?”
“Indah dilihat dari jauh,
tapi menyesatkan bagi yang mencari arah.”
“Anak-anakmu pandai mengeja kata,
tapi tak kenal tanahnya sendiri.”
“Mereka tahu rumus, tapi tak tahu derita petani.”

Aku malu, Guru.
Malu pada sungai yang tak pernah berhenti mengalir,
sementara kebijakan berganti seperti angin di lereng Burni Telong.
Malu pada ikan yang tahu kapan harus bermigrasi,
sementara anak-anak negeri tersesat dalam kurikulum
yang tak berjiwa.

“Belajarlah dari petani kopi,” katanya lagi,
“yang tahu bahwa ilmu seperti tunas,
perlu tanah yang bersih, tangan yang sabar, dan mata yang teduh.
Ilmu bukan barang dagangan,
tapi rebusan cinta dan tekun.”

Dan Burni Telong pun menyala dalam bayanganku,
seperti guru tua yang diam-diam mengawasi.
“Aku akan meletus,” bisiknya,
“bila generasi lupa pada tanah,
pada bahasa, pada harga diri.”

Maka dengarlah aku, kata Pesangan terakhir kali,
“Bangun pendidikan dari akar,
dari hati, dari bahasa ibu dan kisah tua di warung kopi.”
“Ajarkan anakmu membaca syair dan mata embun.”
“Bukan hanya agar mereka pandai,
tetapi agar mereka berhikmah.”

Hari mulai senja.
Aku menulis kata-kata ini di antara desir angin dan desir air,
dari sungai yang diam-diam
lebih bijak daripada para pembuat kebijakan.


Catatan Kaki:

  1. Sungai Pesangan: Sungai utama di dataran tinggi Gayo, saksi kehidupan dan budaya lokal.
  2. Didong: Kesenian khas Gayo berupa syair berbalas disertai tabuhan rebana; mengandung nilai pendidikan sosial dan moral.
  3. Danau Laut Tawar: Danau besar di Takengon, sering diselimuti kabut pagi, metafora kebingungan dalam sistem pendidikan.
  4. Burni Telong: Gunung aktif di Bener Meriah, simbol keteguhan dan potensi peringatan alam.
  5. Kopi Gayo: Komoditas utama Gayo dan simbol ketekunan dalam merawat ilmu.
  6. Berhikmah: Memiliki kebijaksanaan, bukan sekadar pintar secara teknis.