Breaking News
CERPEN  

Lima Ekor Sapi Jadi Mangsa Seekor Harimau di Perueren

Di sebuah padang rumput Perueren luas yang hijau dan damai, hiduplah lima ekor sapi: Si Putih, Si Coklat, Si Hitam, Si Belang, dan Si Abu-abu. Mereka tinggal berdekatan, makan di rumput yang sama, dan melihat langit yang sama, tetapi tak pernah benar-benar saling peduli. Masing-masing merasa cukup dengan dirinya sendiri. Tak ada pertemanan, hanya kebersamaan yang dingin.

Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung di langit dan kabut tipis menyelimuti tanah, datanglah seekor harimau dari hutan sebelah. Ia lapar. Sudah berhari-hari ia tidak mendapat makanan. Melihat lima sapi itu, ia tahu satu hal: jika mereka bersatu, ia takkan punya peluang. Tapi jika mereka terpecah, ia bisa memetik mereka satu per satu seperti buah ranum.

Harimau mengamati, dan ia memilih Si Abu-abu. Sapi itu pendiam, penakut, dan sering menjauh dari kawanan. Dengan langkah senyap dan mata yang menyala, harimau menerkam di tengah malam. Jeritan Si Abu-abu terdengar pilu, menggema di padang sunyi.

Si Putih bangun lebih dulu, tapi ia hanya menoleh sekilas.

“Itu bukan urusanku,” gumamnya. “Lagipula, dia memang lemah.”

Si Coklat menambahkan, “Kalau dia tak bisa menjaga diri, biarkan saja. Itu bukan salah kita.”

Maka Si Abu-abu lenyap dari padang rumput itu, dan hidup berlanjut seolah tak ada yang terjadi.

Beberapa malam kemudian, harimau datang lagi. Kali ini sasarannya adalah Si Hitam. Sapi itu memang tak pernah berbicara dan tampak selalu pasrah.

Jeritannya mengiris malam, tapi seperti sebelumnya, tak ada yang datang.

“Dia memang aneh. Tidak pernah benar-benar jadi bagian dari kita,” kata Si Belang dengan nada datar.

“Mungkin memang sudah nasibnya,” jawab Si Coklat enteng.

Harimau kini mencium kemenangan. Dua telah hilang. Tinggal tiga.

Malam berikutnya giliran Si Belang. Ia sempat melawan. Tanduknya tajam, tapi harimau lebih licik. Ia menyerang dari belakang, menggigit urat di leher. Si Belang berteriak, memanggil, memohon. Tapi tak ada jawaban. Si Putih dan Si Coklat hanya saling memandang dalam gelisah.

“Dia terlalu percaya diri,” kata Si Putih.

“Dia kira harimau takut padanya,” timpal Si Coklat.

Sekarang hanya dua yang tersisa. Mereka mulai tidur dengan mata setengah terbuka, bangun dengan napas terengah. Mereka tahu, giliran mereka akan datang. Tapi tak ada yang mengajak bicara soal bersatu. Ego mereka terlalu tinggi.

Dan benar, malam selanjutnya, harimau datang dan menerkam Si Coklat. Sapi itu berjuang keras. Ia berlari, menendang, melawan, tapi tak bisa menang sendirian. Ia menjerit sekeras-kerasnya.

Si Putih mendengar, tapi tidak datang. Hanya bersembunyi di balik batu, gemetar, berharap harimau pergi.

Kini tinggal satu.

Si Putih merasa padang rumput Perueren itu miliknya. Tak ada yang mengganggu. Tapi malam tak memberi ampun. Harimau datang lagi, matanya tajam, perutnya belum benar-benar kenyang.

Si Putih lari. Ia memanggil nama-nama yang telah lama hilang. Ia menyesal. Tapi tak ada suara menjawab. Ia sendiri. Ia jatuh. Ia diterkam.

Sebelum nafas terakhirnya habis, ia berbisik, “Andai saja kami bersatu…”

Dan padang rumput itu kembali sunyi. Hanya suara angin yang menyapu rumput panjang, dan harimau yang duduk kenyang di bawah pohon, berkata, “Mereka lebih sibuk menyelamatkan diri sendiri daripada melawan bersama. Itu membuat pekerjaanku mudah.”

Tamat.


Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca