Puisi Esai LK
I. Air yang Menyimpan Dosa
Lut Tawar pernah menjadi cermin langit,
menyimpan doa-doa nelayan dan bisik embun.
Kini, ia seperti mata tua yang basah,
menyaksikan tubuhnya dilukai berkali-kali
oleh jaring-jaring tamak dan mata kail serakah.
Cangkul padang dan dedem—
dua kata yang lahir dari kerak lapar,
telah menjelma duri di tenggorokan danau.
Air yang dulu jernih,
kini menyimpan kepedihan tanpa suara.
Burung-burung tak lagi menari di atas riak,
karena bayang-bayang manusia
lebih tajam dari senyap ikan-ikan yang punah.
II. Satgas: Penjaga Batas Langit dan Air
Dari tepian danau, datang para penjaga,
bukan dengan tombak,
melainkan hati yang menolak lupa.
Satgas—mereka adalah rembulan
yang berusaha menenangkan badai.
Wabup Muchsin berdiri seperti akar
yang tak ingin tanahnya longsor.
“Yang tak dibongkar mandiri,
akan kami bantu runtuhkan,” katanya—
seperti hujan pertama yang membersihkan debu ketidakpedulian.
Mereka menyisir air
dengan langkah doa dan niat baik,
memastikan jaring tak menjelma jaring laba-laba
yang membungkus masa depan anak-anak.
III. Danau, Ayat yang Mulai Dirobek
Lut Tawar bukan hanya cekungan air,
ia adalah lembar mushaf yang diturunkan bagi bumi Gayo.
Setiap riaknya adalah huruf,
setiap ikan adalah titik-titik harakat yang harus dijaga.
Tapi kini, halaman mushaf itu mulai koyak,
oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Cangkul padang bukan alat tangkap,
melainkan pena rusak
yang menulis luka pada kitab alam.
Satgas bukan tentara,
mereka adalah penjilid mushaf,
yang ingin menyatukan lembar demi lembar
sebelum semua huruf hilang dalam gelombang.
IV. Bur Kelieten, Saksi yang Diam
Bur Kelieten berdiri seperti nabi yang menyepi,
menyaksikan umatnya menggali jurang
dengan jala dan ketamakan.
Gunung tak turun bicara,
tapi panasnya kadang bicara dalam letusan kecil.
Danau, bagai wudhu yang tercemar,
tak bisa lagi digunakan untuk sujud
bila tak ada yang menjaga kesuciannya.
Satgas datang seperti muadzin,
mengingatkan dengan lembut
bahwa alam juga punya hak,
bahwa ikan juga ingin tumbuh,
bahwa air juga ingin hidup.
⸻
Catatan Kaki (opsional untuk Facebook):
1. Cangkul padang dan dedem dalam puisi ini melambangkan praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem danau.
2. Satgas dipersonifikasikan sebagai penjilid mushaf dan muadzin—lambang kesadaran spiritual yang hadir untuk menjaga keseimbangan.
3. Bur Kelieten sebagai saksi diam menunjukkan bahwa alam mengamati dan merekam, meski tidak berbicara.
Kalanareh, Mei 2025
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.