Oleh Fonna Zahra
Di ujung barat Indonesia, Aceh berdiri kokoh sebagai “Serambi Mekkah”—sebuah wilayah yang sejarahnya dirajut oleh semangat keislaman, perlawanan terhadap kolonialisme, dan kearifan lokal yang mengakar. Di tanah tempat lahirnya pahlawan seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, Teungku Chik Di Tiro, dan pahlawan Aceh lainnya ini, pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk mencerdaskan, tetapi juga untuk melestarikan identitas. Namun, di tengah arus globalisasi, universitas-universitas Aceh dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjadi kompetitif secara akademis tanpa kehilangan jiwa keacehannya? Jawabannya mungkin terletak pada harmoni antara modernitas dan tradisi, antara laboratorium berteknologi tinggi dan naskah kuno yang tersimpan di rak-rak dayah.
Akademisi yang Berpijak pada Sejarah
Pendidikan tinggi di Aceh bukanlah fenomena baru. Sejak abad ke-16, Kesultanan Aceh Darussalam telah menjadi pusat pembelajaran Islam terkemuka di Asia Tenggara. Dayah, lembaga pendidikan tradisional, tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an, tetapi juga astronomi, sastra, dan strategi pemerintahan. Naskah seperti Hikayat Prang Sabi—syair perang yang membangkitkan semangat jihad—ditulis oleh ulama-dayah sebagai bentuk resistensi intelektual terhadap penjajah.
Warisan ini masih terasa di kampus-kampus modern Aceh. Di Universitas Syiah Kuala (USK), misalnya, mahasiswa teknik sipil tidak hanya belajar tentang beton bertulang, tetapi juga meneliti arsitektur tradisional rumoh Aceh yang tahan gempa. Atap limas rumah Aceh dirancang untuk meredam guncangan gempa. Ini ilmu nenek moyang yang relevan hingga kini, kata seorang dosen arsitektur yang tengah merevitalisasi desain rumah tradisional untuk proyek perumahan modern. Sampai saat ini, penelitian tentang rumah adat Aceh masih terus dilakukan di lingkungan akademik USK, dan mendapat apresiasi luar biasa dari dunia internasional, karena kekhasannya.
Sementara itu, di UIN Ar-Raniry, para mahasiswa fakultas sains tidak asing dengan konsep fiqh lingkungan—pendekatan hukum Islam yang mengajarkan keseimbangan ekologis. Mereka berkolaborasi dengan nelayan di Lhok Nga untuk mengembangkan sistem penangkapan ikan ramah lingkungan, merujuk pada tradisi pantang laut (larangan melaut saat bulan tertentu) yang telah dipraktikkan turun-temurun.
Ketika Teknologi Bertemu Manuskrip Kuno
Di era digital, Aceh membuktikan bahwa kemajuan teknologi dapat menjadi alat untuk melestarikan budaya. Perpustakaan UIN Ar-Raniry menyimpan ratusan manuskrip kuno yang mulai rapuh dimakan usia. Pada 2022, universitas ini menjalin kerja sama dengan British Library untuk mendigitalkan naskah-naskah tersebut. Hasilnya, mahasiswa kini dapat mengakses Kitab Tajul Muluk—risalah astrologi abad ke-17—melalui platform online, lengkap dengan terjemahan interaktif dalam bahasa Aceh dan Indonesia.
Inovasi serupa terjadi di Universitas Malikussaleh (Unimal), sekelompok mahasiswa informatika mengembangkan aplikasi “AcehPedia” yang menyajikan cerita rakyat Aceh dalam format animasi 3D. Aplikasi ini tidak hanya populer di kalangan pelajar, tetapi juga digunakan oleh guru-guru di pedalaman sebagai bahan ajar alternatif. Dulu anak-anak di Simeulue lebih hafal karakter Marvel daripada legenda Malem Dagang. Kini, mereka bisa belajar sejarah Aceh sambil menonton animasi.
Pada prinsipnya, teknologi hanyalah alat. Jiwa dari inovasi ini tetap bersumber pada kearifan lokal. Di Politeknik Aceh Selatan, misalnya, para mahasiswa agroteknologi tidak serta-merta mengadopsi praktik pertanian modern. Mereka justru belajar dari ritual peusijuek—tradisi pemberian berkat dengan daun sirih sebelum menanam padi-yang masih terus dipraktekkan masyarakat petani seluruh Aceh. Dalam peusijuek, terkandung filosofi kesabaran dan penghormatan pada alam. Ini sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan.
Dayah dan Kampus: Dua Kutub yang Menyatu
Kolaborasi antara pendidikan tinggi modern dan dayah (pesantren tradisional) menjadi kunci unik Aceh. Di Dayah-dayah Modern Aceh saat ini, santri tidak hanya belajar kitab kuning, tetapi juga belajar coding dan bahasa Inggris. Di sisi lain, mahasiswa USK kerap mengikuti diskusi dengan teungku-dayah tentang etika bisnis berbasis syariah.
Sebuah program unggulan bernama “Gerakan Kembali ke Dayah” digagas oleh Dinas Pendidikan Aceh pada 2023. Dalam program ini, mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu wajib menghabiskan satu semester belajar di dayah. Hasilnya luar biasa: mahasiswa kedokteran Unsyiah berhasil mendokumentasikan 45 ramuan tradisional (pengobatan rambat) yang digunakan dukun kampung, lalu mengujinya di laboratorium farmasi. Menurut hasil penelitian tersebut, dari 45 ramuan, 12 ramuan terbukti secara ilmiah memiliki efek anti-inflamasi. Ini bukti bahwa ilmu lokal tidak kalah dengan obat modern.
Di sisi lain, dayah pun mulai membuka diri. Dayah Babussalam di Aceh Tengah, misalnya, kini memiliki laboratorium bahasa berstandar internasional. Para santri belajar mengajar bahasa Arab menggunakan metode digital, sambil tetap mempertahankan kajian kitab Bustanul Salatin—karya sastra Melayu-Aceh abad ke-17.
Menyemai Benih di Tengah Tantangan
Meski penuh inovasi, jalan pendidikan tinggi Aceh tidaklah mulus. Keterbatasan anggaran, minimnya infrastruktur riset, dan eksodus lulusan terbaik ke luar negeri masih menjadi masalah. Sebuah studi pada 2023 mengungkapkan bahwa 60% lulusan teknik USK lebih memilih bekerja di Jakarta atau Malaysia daripada mengembangkan Aceh. Namun, harapan tetap tumbuh. Program Aceh Global Fellowship yang digagas pemerintah daerah berhasil membawa pulang 150 diaspora Aceh dari Eropa dan Amerika. Di antara mereka ada seorang ahli bioteknologi lulusan Jerman yang kini mengembangkan riset mikroalga di pantai Aceh Barat. “Ini bukan sekadar riset. Saya ingin membuktikan bahwa ilmuwan Aceh bisa menjawab masalah global tanpa meninggalkan identitas,” katanya sambil menunjukkan hasil kerjasamanya dengan nelayan lokal untuk budidaya rumput laut berkelanjutan.
Di tingkat komunitas, gerakan sosial seperti Aceh Young Leaders menggabungkan kepemimpinan modern dengan nilai-nilai sipakatau (saling menghormati). Mereka melatih mahasiswa menjadi social entrepreneur dengan berpedoman pada prinsip meuseuraya (gotong royong). Hasilnya, lahir usaha seperti Kopi Cerita—kafe yang menyajikan kopi Gayo sambil memutar cerita lisan tentang Perang Aceh.
Masa Depan yang Berakar pada Masa Lalu
Pada akhirnya, pendidikan tinggi Aceh tidak perlu memilih antara menjadi modern atau tradisional. Di kampus-kampus Aceh, mahasiswa teknik mengukur kekuatan material bangunan sambil mendengar kisah ketangguhan benteng Indra Patra melawan Portugis. Calon dokter belajar farmakologi modern, tetapi juga familiar dengan resep jamu tradisional. Ekonom mempelajari teori pasar global, tapi tesisnya tentang nilai kearifan peukan (pasar tradisional) Aceh.
Seperti lukisan kaligrafi Aceh yang memadukan huruf Arab dengan ornamen khas, pendidikan tinggi Aceh harus menjadi mozaik indah antara ilmu global dan lokal. Di tangan generasi muda Aceh, naskah kuno Hikayat Prang Sabi tidak akan sekadar jadi pajangan museum, melainkan inspirasi untuk menulis hikayat baru: hikayat tentang anak-anak Aceh yang menguasai teknologi, tetapi tetap membungkuk hormat saat melewati dayah.
Tulisan ini menggambarkan upaya nyata yang telah dilakukan berbagai universitas dan komunitas di Aceh. Dengan semangat “Hukom ngon Adat, Lagee Zat ngon Sifeut” (Hukum dan Adat bagai Zat dan Sifat), Aceh terus membuktikan bahwa identitas bukanlah beban, melainkan landasan untuk melompat ke masa depan. Perjuangan belum berakhir, bangkit menuju kegemilangan bukan perkara mudah, tetapi terpuruk dalam keterbelakangan bukanlah cita-cita kita semua. Untuk memajukan Aceh, pendidikan harus menjadi prioritas, tidak ada negara yang bisa maju bila masyarakatnya tidak memiliki pendidikan yang layak.
Fri.02.Mei.2025
Penulis adalah candidat doktor pada Sekolah Pascasarjana USU.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.