Di sebuah senja yang hening, seolah waktu membuka celahnya, aku duduk di pelataran bukit yang menghadap ke lembah tua Linge. Kabut tipis menyelimuti hutan, dan dari antara pepohonan purba itu, sosok agung muncul perlahan. Ia mengenakan jubah kebesaran kerajaan, namun langkahnya ringan, hampir tak menyentuh tanah. Dialah Raja Linge, Meurah Silu, penguasa bijak yang namanya masih bergema di cerita-cerita tua.
Aku berdiri dengan hormat, namun hatiku penuh gundah.
“Ampun, Paduka,” kataku lirih, “hamba datang bukan membawa pujian, tapi keluh kesah dari tanah yang dulu Paduka pimpin.”
Meurah Silu menatapku dalam diam. Matanya tajam, namun teduh, seolah menunggu kata yang lebih dalam.
“Rakyatmu, Paduka,” lanjutku, “mereka yang dulu berdiri tegak di hadapan kebatilan, kini lebih memilih diam. Mereka menunduk bukan karena hormat, tapi karena takut. Kebenaran telah menjadi beban, bukan lagi kehormatan.”
Sang Raja menarik napas panjang. Pandangannya mengembara, menembus waktu.
“Apakah lidah mereka telah kelu karena takut?” tanyanya. “Ataukah mereka telah terbiasa dengan nyaman, hingga kebenaran terasa mengganggu?”
Aku hanya bisa menunduk. Kata-katanya menggugah luka yang sejak lama kupendam.
“Dulu, rakyat Linge rela kehilangan nyawa demi menyuarakan kebenaran,” ujar Meurah Silu dengan nada pedih. “Mereka tahu bahwa diam dalam ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan pada nurani.”
“Dan kini, Paduka,” kataku, “mereka membungkam suara hati sendiri demi keamanan semu. Tak satu pun yang berani berkata benar jika itu berarti keluar dari barisan.”
Meurah Silu mengangguk pelan. “Mungkin mereka mewarisi namaku, tapi tidak keberanianku,” katanya lirih. “Warisan bukan sekadar darah atau gelar, melainkan nyala yang dijaga dalam tindakan. Bila hanya nama yang tersisa, maka yang hidup hanyalah bayang-bayang.”
Sunyi merayap di antara kami, seperti kesedihan yang tak punya tempat untuk pulang.
Lalu aku angkat wajahku dan berkata, “Kalau tak seorang pun berani berkata jujur, maka biarlah aku yang memulai. Meski sendiri, aku akan bersuara. Biarlah suara itu menjadi gema dari masa lalu, dari keberanian yang Engkau wariskan.”
Raja Linge tersenyum—bukan senyum kemenangan, tapi harapan.
“Jika engkau berani bersuara saat semua memilih diam,” ucapnya, “maka Linge belum sepenuhnya padam. Dan sejarah akan mencatat: masih ada satu jiwa yang menjaga nyala kebenaran.”
Lalu perlahan, ia menghilang bersama kabut. Tapi kata-katanya tetap tinggal, menancap di dadaku seperti tombak yang lembut—mengoyak, tapi membangkitkan.
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.