LK Ara
Puisi Esai
1.
Tahun 2019,
aku ke Turki bersama kekasih.
Katanya: beri aku sebatang tulip.
Tapi tulip belum musimnya.
Di pasar bunga kami hanya menjumpai mawar yang gugur
dan sepi yang tumbuh di mata para pedagang tua.
Malam-malam kami isi dengan berjalan ke tepi Laut Marmara.
Kami duduk di bangku kayu, memandangi kapal
yang melintasi selat dengan tenang seperti doa.
Kekasihku bertanya:
“Siapa yang pernah mengirim cinta dari jauh?”
Dan Laut Marmara menjawab dalam bisikan ombak:
Aceh.
Seketika aku melihat sejarah duduk di sampingku,
menyeka embun dari jendela waktu,
lalu berkata:
“Pernah, Sultan Iskandar Muda mengirim surat
kepada Sultan Turki Ottoman,
memohon bantuan saat Portugis mendekat,
dan janji setia di antara dua negeri Islam
ditulis dengan tinta yang belum pernah kering.”
- Bayangkan,
laut yang kami pandangi malam itu—
adalah jalur kisah lama:
saat utusan Aceh mengarungi gelombang
menuju Istanbul,
membawa surat, lada, dan harapan.
Dan dari Istana Topkapi,
jawaban pun pernah datang:
bukan hanya dalam bentuk bala bantuan,
tapi juga dalam bentuk rasa seiman—
yang tak mengenal peta,
tak kenal garis batas.
Kami menghirup udara malam
yang mungkin pernah juga dihirup utusan masa lalu.
Kekasihku berkata pelan:
“Di zaman dulu, cinta bisa menyeberang lautan.
Sekarang, mengirim pesan pun kadang terasa jauh.”
Lalu kami diam.
Karena ada perasaan yang tak perlu dijelaskan,
cukup disaksikan bersama
di bawah langit yang sama.
- Aku membawa selembar peta tua
berwarna sephia—
di dalamnya, Aceh dan Istanbul
tidak berjauhan.
Bukan karena skala,
tapi karena ikatan sejarah yang tak terlihat mata.
Di sana, aku bayangkan
Teuku Umar duduk di sampan,
membaca kisah Turki dengan hati menyala.
Di sana, aku lihat Cut Nyak Dhien
berdoa di antara puing,
berharap datangnya bala dari barat jauh,
bukan demi perang,
tapi demi kehormatan dan hidup yang tak tunduk.
Kekasihku bertanya:
“Apakah surat-surat itu masih ada?”
Aku jawab:
“Mungkin telah disimpan Allah
dalam laci langit
sebagai saksi bahwa bangsa ini
pernah menulis sejarah dengan nurani.”
- Di antara desir angin Laut Marmara
dan sunyi yang turun di kelopak malam,
aku belajar, bahwa sejarah bukan sekadar huruf-huruf beku
yang terkurung dalam lemari arsip.
Ia hidup,
bernapas lewat detak kekasih yang duduk di sampingku,
berbisik lewat riak air yang memantulkan cahaya Istanbul,
dan menetes pelan dalam secangkir teh hangat
yang kami teguk sambil mengenang:
surat Aceh kepada Turki—
sehelai kertas yang melintasi samudra,
membawa harapan, bukan dendam.
Aku bertanya kepada diriku sendiri:
adakah kita masih menyapa saudara seiman
dengan kelembutan yang sama?
Masihkah kita menulis surat—
bukan untuk memohon kuasa,
tapi untuk merawat tali nurani bangsa?
Terkadang, cinta tak datang lewat bunga.
Ia hadir dalam bentuk lebih sederhana:
sebuah langkah di tanah asing,
sebuah cerita yang dibisikkan ombak,
sebuah kesadaran bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri
dalam perjuangan yang sunyi.
Maka malam ini,
aku tak mencari tulip lagi.
Cukuplah dengan keyakinan:
bahwa ada cinta yang tumbuh
bukan dari musim semi,
melainkan dari sejarah yang kita genggam bersama.
Dan bila kelak anak-anak bangsa bertanya
tentang hubungan Aceh dan Turki,
akan kukatakan:
Itu bukan sekadar diplomasi,
melainkan puisi.
Kalanareh, Mei 2025
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.