Oleh: Rizki Rahayu Fitri
Rizkirahayuf@gmail.com
Kota Takengon, dengan segala pesona alamnya yang memukau, memiliki potensi wisata yang luar biasa. Namun, potensi tersebut kini terancam oleh praktik pungutan liar (pungli) yang semakin merajalela di kawasan wisata.
Pungli yang dilakukan oleh oknum-oknum di tempat-tempat wisata tidak hanya merugikan wisatawan tetapi juga mengganggu upaya pengembangan pariwisata yang saat ini sedang gencar-gencarnya didorong oleh pemerintah daerah.
Keadaan ini mencoreng upaya serius yang telah dilakukan untuk memajukan sektor pariwisata yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi di Aceh Tengah.
Pungli Wisata: Beban yang Tidak Wajar bagi Wisatawan
Pungutan liar di kawasan wisata Kota Takengon belakangan ini semakin mengkhawatirkan. Salah satu contoh terbaru adalah pungutan yang dikenakan kepada wisatawan yang mengunjungi objek wisata seperti Jiva Takengon, sebuah objek wisata yang cukup populer di kalangan pengunjung. Wisatawan kini diwajibkan membayar Rp25 ribu per orang untuk memasuki kawasan wisata tersebut.
Pungutan ini jelas tidak wajar, karena tarif tersebut tidak sebanding dengan fasilitas yang disediakan dan tidak sesuai dengan standar biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Selain itu, di kawasan wisata Merodot Bintang, pungutan yang dikenakan juga dihitung per kepala, bukan per mobil. Hal ini tentu merugikan wisatawan, karena mereka yang datang dengan keluarga atau rombongan harus membayar tarif yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikenakan di objek wisata lainnya yang tarifnya dihitung per mobil.
Praktik-praktik pungutan liar seperti ini menambah beban bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam Takengon. Contoh lainnya adalah pungutan yang dilakukan di kawasan wisata Gunung Merapi. Sebelumnya, wisatawan hanya dikenakan biaya parkir dan tiket masuk yang sesuai dengan ketetapan.
Namun, belakangan ini muncul biaya tambahan untuk “keamanan” yang tidak pernah ada sebelumnya, dan tidak ada kejelasan mengenai alokasi dana yang dipungut tersebut. Ini tentu saja menambah beban bagi wisatawan yang sudah membayar biaya lainnya.
Secara yuridis, pungli di tempat-tempat wisata ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Di Indonesia, setiap jenis pungutan yang dilakukan di ruang publik atau objek wisata harus tunduk pada ketentuan yang berlaku, baik itu Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pariwisata menyebutkan bahwa semua pungutan di sektor pariwisata harus dilaksanakan secara transparan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa setiap pungutan yang berkaitan dengan wisata harus ditetapkan dalam bentuk retribusi resmi yang sah melalui Peraturan Daerah.
Dalam hal ini, pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut tanpa dasar yang jelas atau izin yang sah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang ada. Praktik pungli ini seharusnya dapat dipertanggungjawabkan melalui jalur hukum yang sesuai, yang melibatkan aparat keamanan atau Satpol PP untuk menegakkan ketertiban di kawasan wisata.
Pungutan yang tidak sah ini juga melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi dasar pengelolaan keuangan publik. Oleh karena itu, pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata (Dispar) Aceh Tengah, memiliki kewajiban untuk menindak tegas oknum yang melakukan pungli di objek wisata, serta memastikan bahwa setiap jenis pungutan memiliki dasar hukum yang jelas dan dipungut untuk kepentingan umum yang terkontrol.
Pemerintah dan Dispar Tidak Mengambil Peran.
Menanggapi Minimnya Pengawasan
Pemerintah daerah Aceh Tengah, khususnya Dinas Pariwisata (Dispar), seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengatasi masalah pungli yang terjadi di sektor pariwisata. Namun kenyataannya, Dispar tidak cukup responsif dalam menangani masalah ini.
Ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap masalah pungli menciptakan kesan bahwa mereka membiarkan praktik tersebut terus berkembang tanpa ada upaya pengawasan yang signifikan. Tidak ada kebijakan konkret atau tindakan tegas yang diambil oleh Dispar untuk memastikan bahwa pungutan di tempat-tempat wisata dilakukan dengan cara yang sah dan transparan.
Meskipun sektor pariwisata merupakan salah satu andalan ekonomi Aceh Tengah, kurangnya pengawasan terhadap implementasi peraturan terkait pungutan menunjukkan adanya kelemahan dalam pengelolaan sektor ini.
Pemerintah seharusnya lebih sigap untuk melibatkan aparat hukum dan menciptakan sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap objek-objek wisata, sehingga praktik pungli dapat diminimalkan.
Krisis Infrastruktur dan Reputasi Takengon yang Terancam.
Ironisnya, meskipun sektor pariwisata memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian daerah, sektor ini justru tidak berkembang dengan baik akibat masalah pungli yang tak kunjung terselesaikan.
Dampaknya sangat merugikan perekonomian daerah, terutama ketika Takengon berusaha menarik lebih banyak wisatawan untuk berkunjung. Tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah dalam menangani pungli dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi wisatawan, Takengon bisa kehilangan daya tariknya sebagai destinasi wisata unggulan.
Pungli ini juga memengaruhi persepsi masyarakat luar terhadap Kota Takengon. Banyak wisatawan dari luar daerah yang mulai merasa enggan dan malas untuk mengunjungi Takengon setelah mendengar keluhan mengenai pungli yang terjadi di beberapa tempat wisata.
Mereka yang sudah terlanjur kecewa dengan pungli cenderung akan memberi ulasan buruk di platform wisata, yang akan menyulitkan Takengon dalam memasarkan dirinya sebagai tujuan wisata yang aman dan nyaman. Ini juga berisiko mengurangi jumlah wisatawan yang datang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pungli yang terus berlangsung memperburuk citra Takengon sebagai destinasi wisata yang mengutamakan kenyamanan dan kepuasan pengunjung. Bahkan, dengan terus adanya pungli yang dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat, reputasi Takengon sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi wisatawan akan semakin terancam. Oleh karena itu, tanpa adanya peran aktif dari pemerintah daerah dan Dispar untuk menanggulangi pungli, Takengon berisiko kehilangan daya tariknya dan menghadapi penurunan jumlah pengunjung dalam jangka panjang.
Solusi: Menegakkan Transparansi dan Pengawasan yang Ketat
Untuk mengatasi masalah pungli ini, pemerintah daerah harus segera bertindak. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah penegakan aturan yang lebih ketat terhadap pungutan di tempat-tempat wisata.
Pemerintah harus memastikan bahwa semua biaya yang dipungut oleh pengelola wisata sudah ditetapkan secara jelas melalui Perda atau peraturan resmi lainnya, yang dapat diakses oleh wisatawan sebelum mereka mengunjungi objek wisata. Selain itu, pengawasan yang lebih intensif perlu diterapkan oleh Dispar Aceh Tengah. Dengan menggandeng pihak berwenang, seperti aparat kepolisian dan Satpol PP, pemerintah bisa memastikan bahwa pungutan liar segera diberantas.
Dispar juga perlu lebih proaktif dalam melakukan evaluasi terhadap pengelola objek wisata, untuk memastikannya mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah juga harus memberikan edukasi dan pelatihan kepada para pengelola wisata dan masyarakat sekitar mengenai pentingnya pengelolaan pariwisata yang transparan dan berkelanjutan. Ini akan membangun kepercayaan di kalangan wisatawan dan mengurangi potensi praktik pungli yang merugikan.
Pungutan liar yang terjadi di sektor wisata Takengon adalah masalah serius yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Tanpa penanganan yang tepat, pungli akan merusak potensi ekonomi pariwisata yang dapat mendatangkan manfaat besar bagi Aceh Tengah.
Pemerintah daerah, khususnya Dispar, harus bertindak tegas untuk mengatasi praktik ini dan memastikan bahwa sektor pariwisata dapat berkembang dengan adil, transparan, dan berkelanjutan. Hanya dengan cara ini, Takengon bisa menjadi destinasi wisata unggulan yang dikenal luas dan mendatangkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal.
* Penulis merupakan Pengamat Hukum Tata Negara