Oleh : Zulfikar Fikri, M.Si
Strategi kampanye Toxic mulai tumbuh menjamur di Aceh pada Pilkada tahun 2024. Jika tidak diantisipasi akan berpotensi menurunkan kualitas pemimpin hasil demokrasi.
Strategi kampanye toxic tujuannya untuk meningkatkan elektabilitas kandidat yang diusungnya, namun dapat mempersempit cara fikir masyarakat dalam menilai keriteria memilih pemimpin berkualitas.
Upaya-upaya ini memanfaatkan kondisi taraf hidup (ekonomi) dan emosional masyarakat. Strategi kampaye toxic ini umumnya oleh individu-individu yang sudah berpengalaman berkecimpung dalam Pilkada, namun sering gagal memenangkan calonnya, atau pernah pada situasi menang namun ‘merasa kalah’ karena tidak tercapai ‘nafsu pribadi’ pada kandidat yang diusungnya setelah menang.
Ada juga dari individu ingin diakui eksistensinya oleh kandidat yang dijagokannya, namun memiliki kelemahan kapasitas dalam memobilisasi suara calon pemilih.
Strategi kampanye toxic berdampak mempersempit cara fikir masyarakat pada cluster ekonomi tidak stabil, psikologis dan emosional rentan.
Narasi – narasi umum yang digunakan misalnya ; semua kandidatnya sama saja setelah terpilih, mendukung Kandidat A karena kuat sokongan anggaran kampanye nya, Kandidat B gak bisa menang karena bukan putra asli daerah/ atau bukan kalangan tertentu (ulama, pejuang,.. dll), pilihan pada Kandidat C karena asalnya dari klan/suku ini – itu,.. dan strategi kampanye toxic mendorong pemilih berfikir untuk keuntungan pribadi, ego sektoral bila mendukung kandidat tertentu.
Pastinya strategi kampanye toxic minim sekali narasi-narasi politik yang menyentuh gagasan-gagasan kepentingan pembangunan daerah.
Metode berkampanye toxic adalah Kampanye Emosional. Kampanye emosional merupakan kampanye politik yang mengutamakan pesan-pesan yang menggugah emosi, seperti rasa takut, kemarahan, atau kebanggaan, harapan pribadi pemilih dapat dengan mudah menarik pemilih yang cenderung emosional.
Cara kerja strategi kampanye toxic, seperti ; (1) Mem-bully dengan maksud mengganggu, mengintimidasi, atau menghina lawan politik secara terus-menerus., (2) Menggosip dengan menyebarkan rumor atau informasi yang tidak benar tentang lawan politik atau melakukan black campaign (kampaye gelap).
(3) Mengabaikan kultur budaya atau adat yang menjunjung tinggi sopan satun, menjaga perasaan orang lain, menghormati perbedaan pikiran. (4) Berani menebar janji palsu dalam kampanye, padahal secara aturan dan logika tidak mungkin untuk di tepati. (5) Bersikap posesif terhadap terhadap lawan diskusi atau calon pemilih yang mengajukan gagasan yang berbeda.
Strategi kampanye toxic sangat berpengaruh pada pemilih berkarakteristik atau dalam cluster perilaku pemilih sentimentil.
Bagi calon pemilih yang ingin mengatasi strategi kampanye toxic ini, cobalah batasi interaksi, jika memungkinkan, batasi interaksi dengan orang yang terindikasi sedang menjalankan strategi kampanye toxic, tetapkan batasan interaksi yang jelas dalam hubungan dengan orang tersebut.
Ingatlah bahwa tetap menjaga kewarasan dan berfikir logis, kuatkan kapasitas dengan memperkaya pengetahuan tentang pemimpin berkualitas agar naik kelas menjadi pemilih rasional.
*) Wakil Ketua Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU)
Eksplorasi konten lain dari KEN NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.